25/10/11

Infeksi Saluran Pernafasan Akut pada Anak

Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan penyebab terpenting kesakitan dan kematian pada anak. Kasus ISPA merupakan 50% dari seluruh penyakit pada anak berusia di bawah 5 tahun dan 30% pada anak berusia 5-11 tahun. Walaupun sebagian besar terbatas pada saluran napas bagian atas tetapi sekitar 5% juga melibatkan saluran napas bagian bawah sehingga berpotensi menjadi serius. Insidensi ISPA di negara berkembang adalah 2-10 kali lebih banyak daripada negara maju. Perbedaan tersebut berhubungan dengan etiologi dan faktor risiko. Di negara maju, ISPA didominasi oleh virus, sedangkan di negara berkembang oleh bakteri. Di negara berkembang, ISPA dapat menyebabkan 10-25% kematian dan bertanggung jawab terhadap 1/3-1/2 kematian pada balita. Pada bayi angka kematiannya dapat mencapai 45 per 1000 kelahiran hidup. Di Indonesia, ISPA merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien ke sarana kesehatan, yaitu 40-60% dari seluruh kunjungan ke puskesmas dan 15-30% dari seluruh kunjungan rawat jalan dan rawat inap RS. Jumlah episode ISPA di Indonesia diperkirakan 3-6 kali per tahun. Hal ini menunjukkan angka kesakitan akibat ISPA masih tinggi.

Definisi
Infeksi saluran pernapasan akut adalah infeksi yang dimulai dari saluran napas atas hingga paru yang berlangsung sampai 14 hari. Infeksi saluran napas bagian atas adalah infeksi saluran napas yang terletak diatas laring sedangkan bila mengenai organ dibawah laring disebut infeksi saluran napas bawah.

Usia
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, ISPA dapat ditemukan pada 50% anak berusia di bawah 5 tahun dan 30% anak berusia 5-12 tahun. World Health Organization melaporkan bahwa di negara berkembang, ISPA termasuk infeksi saluran napas bagian bawah (pneumonia, bronkiolitis, dan lain-lain) adalah penyebab utama dan empat penyebab terbanyak kematian anak dengan kasus terbanyak terjadi pada anak berusia di bawah 1 tahun.

Jenis Kelamin
Pada umumnya, tidak ada perbedaan insidens ISPA akibat virus atau bakteri pada laki-laki dan perempuan, akan tetapi ada yang mengemukakan bahwa terdapat sedikit perbedaan yaitu insidens lebih tinggi pada anak laki-laki berusia di atas 6 tahun.

Status Gizi
Status gizi anak merupakan faktor risiko penting timbulnya infeksi saluran napas. Gizi buruk merupakan faktor predisposisi terjadinya ISPA pada anak. Hal ini dikarenakan adanya gangguan respons imun. Oleh karena itu, perbaikan gizi dan pemberian ASI, harus dilakukan pula untuk mencegah ISPA pada anak.

Pemberian Air Susu Ibu (ASI)
Terdapat banyak penelitian yang menunjukkan hubungan antara pemberian ASI dengan terjadinya ISPA. Bayi yang tidak pernah diberi ASI lebih rentan mengalami ISPA dibandingkan dengan bayi yang diberi ASI paling sedikit selama 1 bulan. Cesar JA dkk. melaporkan bahwa bayi yang tidak diberi ASI akan 17 kali lebih rentan mengalami perawatan di RS akibat pneumonia dibandingkan dengan bayi yang mendapat ASI.

Imunisasi
Vaksin Pneumokokus dan H. influenzae tipe B saat ini sudah diberikan pada anak-anak dengan efektivitas yang cukup baik.

Pendidikan Orang Tua
Tingkat pendidikan orang tua menunjukkan adanya hubungan terbalik antara angka kejadian dengan kematian ISPA. Kurangnya pengetahuan menyebabkan sebagian kasus ISPA tidak diketahui oleh orang tua dan tidak diobati.

Status Sosial Ekonomi
Status sosial ekonomi berpengaruh terhadap pendidikan dan faktor-faktor lain seperti nutrisi, lingkungan, dan penerimaan layanan kesehatan. Anak yang berasal dari keluarga dengan status sosial ekonomi rendah mempunyai risiko lebih besar mengalami episode ISPA.

Penggunaan Fasilitas Kesehatan
Penggunaan fasilitas kesehatan dapat mencerminkan tingginya insidens ISPA, yaitu sebesar 60% dari kunjungan rawat jalan di puskesmas dan 20-40% dari kunjungan rawat jalan dan rawat inap RS.

Lingkungan - Polusi udara
Studi epidemiologi di negara berkembang menunjukkan bahwa polusi udara, baik dari dalam maupun dari luar rumah, berhubungan dengan beberapa penyakit termasuk ISPA. Hal ini berkaitan dengan konsentrasi polutan lingkungan yang dapat mengiritasi mukosa saluran napas. Anak yang tinggal di dalam rumah berventilasi baik memiliki angka insidens ISPA yang lebih rendah daripada anak yang berada di dalam rumah berventilasi buruk.

Beberapa Jenis Infeksi Saluran Napas Bagian Atas

Rinitis
Rinitis atau dikenal juga sebagai Common cold, Coryza, Cold atau selesma adalah salah satu satu dari penyakit infeksi saluran napas bagian atas tersering pada anak. Anak-anak lebih sering mengalami rinitis daripada dewasa. Rata-rata mereka mengalami 6-8 kali rinitis per tahun, sedangkan orang dewasa 2-4 kali per tahun. Penyakit ini juga merupakan penyebab terbanyak yang menyebabkan anak tidak dapat pergi ke sekolah. Rinitis adalah infeksi virus akut paling sering diderita yang sangat menular. Rinitis merupakan istilah untuk infeksi saluran pernapasan atas ringan dengan gejala utama hidung buntu, adanya sekret hidung, bersin, nyeri tenggorokan, dan batuk. Infeksi ini terjadi secara akut, dapat sembuh spontan. Penularan rinitis dapat terjadi melalui inhalasi yang mengandung partikel kecil, deposisi droplet pada mukosa hidung atau konjungtiva, atau melalui kontak tangan dengan sekret yang mengandung virus yang berasal dari penyandang atau dari  lingkungan. Gejala klinis adanya sekret hidung dan demam merupakan gejala yang sering ditemukan selama tiga hari pertama. Sekret hidung yang semula encer dan jernih akan berubah menjadi lebih kental dan purulen. Gejala lain meliputi nyeri tenggorok, batuk, rewel, gangguan tidur, dan penurunan nafsu makan. Pemeriksaan fisis tidak menunjukkan tanda yang khas, tetapi dapat dijumpai pembengkakan, kemerahan mukosa hidung serta pembesaran kelenjar getah bening leher anterior. Penanganan berupa usaha untuk mengatasi hidung tersumbat, misalnya pada anak yang lebih besar dianjurkan untuk melakukan posisi kepala lebih tinggi saat tidur. Pada bayi dan anak direkomendasikan untuk memberikan terapi suportif cairan yang adekuat, karena pemberian minum dapat mengurangi gejala nyeri atau gatal pada tenggorokan. Apabila gejala yang ditimbulkan terlalu mengganggu, maka dianjurkan untuk memberikan obat untuk mengurangi gejala. Gejala yang membuat anak tidak nyaman biasanya adalah demam, lemah, hidung meler, hidung tersumbat, dan batuk menetap. Pemberian tetes hidung salin yang diikuti dengan hisap lendir dapat mengurangi sekret hidung pada bayi. Pada anak yang lebih besar dapat diberikan semprot hidung salin. Cara terbaik untuk mencegah terjadinya penularan adalah dengan mencuci tangan, khususnya setelah kontak dengan sekret pasien baik secara langusng maupun tidak langsung. Pemberian imunisasi Influenza setahun sekali dapat mencegah infeksiinfluenza dan komplikasinya.

Faringitis, Tonsititis, Tonsilofaringitis Akut
Faringitis merupakan peradangan akut membran mukosa faring dan struktur lain di sekitarnya. Karena letaknya yang sangat dekat dengan hidung dan tonsil, jarang terjadi hanya infeksi lokal faring atau tonsil. Oleh karena itu, pengertian faringitis secara luas mencakup tonsilitis, nasofaringitis, dan tonsilofaringitis. Streptokokus beta hemolitikus grup A adalah bakteri penyebab terbanyak faringitis/tonsilofaringitis akut. Bakteri tersebut mencakup 15-30% dari penyebab faringitis akut pada anak, sedangkan pada dewasa hanya sekitar 5-10% kasus. Streptokokus Grup A biasanya bukan merupakan penyebab yang umum pada anak usia prasekolah, tetapi pernah dilaporkan terjadi outbreak di tempat penitipan anak. Nasofaring dan orofaring adalah tempat untuk organisme ini, kontak langsung dengan mukosa nasofaring atau orofaring yang terinfeksi atau dengan benda yang berkontainasi seperti sikat gigi merupakan cara penularan yang kurang berperan, demikian juga penularan melalui makanan. Kontak erat dengan sekumpulan besar anak, misalnya pada kelompok anak sekolah, akan mempertinggi penyebaran penyakit. Rata-rata anak prasekolah mengalami 4-8 episode infeksi saluran respiratori atas setiap tahunnya, sedangkan anak usia sekolah mengalami 2-6 episode setiap tahunnya. Gejala faringitis yang khas akibat bakteri Streptokokus berupa nyeri tenggorokan dengan awitan mendadak dan demam. Urutan gejala yang biasanya dikeluhkan oleh anak berusia di atas 2 tahun adalah nyeri kepala, nyeri perut, dan muntah. Selain itu juga didapatkan demam yang dapat mencapai suhu 40°C, beberapa jam kemudian terdapat nyeri tenggorok. Gejala seperti hidung meler, suara serak, batuk, mata merah, dan diare biasanya disebabkan oleh virus. Pemberian antibiotik tidak diperlukan pada faringitis virus, karena tidak akan mempercepat waktu penyembuhan atau mengurangi derajat keparahan. Istirahat cukup dan pemberian cairan yang sesuai merupakan terapi suportif yang dapat diberikan. Antibiotik diberikan bila penyebabnya bakteri.
Difteria
Difteria adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh Corynebacterium diphtheria dengan ditandai pembentukan pseudomembran pada kulit dan/atau mukosa. Corynebacterium diphtheria merupakan kuman yang sangat berbahaya karena dapat menghasilkan suatu eksotoksin yang sangat kuat sehingga dapat menyebabkan suatu penyakit yaitu difteria. Difteria mempunyai gejala klinis berupa sakit tenggorokan dan mebentuk suatu membran yang dapat menutupi tonsil, faring dan laring. Difteria tersebar luas  di seluruh dunia. Di negara berkembang dengan program imunisasi yang efektif, angka kejadian difteria menurun secara drastis, tetapi kasus pada  remaja dan dewasa meningkat. Hal tersebut dikarenakan imunitas yang ditimbulkan oleh toxoid difteria tidak dapat hidup lama sehingga dibutuhkan proteksi yang lebih panjang untuk remaja dan dewasa. Demikian pula terdapat penurunan angka kematian yang berkisar antara 5-10%. Delapan puluh persen kasus terjadi dibawah 15 tahun, meskipun demikian dalam suatu keadaan wabah, angka kejadian menurut umur tergantung status imunitas populasi setempat. Faktor sosial ekonomi, penduduk yang padat, nutrisi yang jelek, terbatas fasilitas kesehatan, merupakan faktor penting terjadinya penyakit ini.  Kuman C. diphtheria masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berkembang biak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah. Toksin difteria bertanggung jawab terhadap beberapa manifestasi klinis yang serius. Toksin ini sangat labil dan mudah dihancurkan oleh panas (750 C selama 10 menit), cahaya dan usia.  Manifestasi klinis bervariasi dari tanpa gejala sampai suatu keadaan/penyakit yang fatal. Difteri biasanya timbul setelah masa inkubasi yang pendek yaitu 2-4 hari, keluhan dan gejala klinis tergantung dari lokalisasi penyakit difteria. Ketika difteri menyerang tenggorokan dan tonsil, gejala awalnya adalah radang tenggorokan, kehilangan nafsu makan, dan demam. Dalam waktu 2-3 hari, lapisan putih atau aba-abu ditemukan di tenggorokan atau tonsil. Lapisan ini menempel pada langit-langit dari tenggorokan dan dapat berdarah. Jika terdapat pendarahan, lapisan berubah menjai aba-abu kehijauan atau hitam. Penderita difteri biasanya demam, sakit leher, dan sesak napas. Antitoksin spesifik (Anti Difteri Serum / ADS) merupakan terapi dasar yang harus diberikan sesegera mungkin berdasarkan gejala-gejala klinis yang ditemukan untuk menetralisir toksin bebas. Terapi antimikroba diindikasikan untuk menghambat produksi toksin, mengobati infeksi lokal dan mencegah transmisi organisme untuk melakukan kontak. Penderita difteria dirawat di ruang isolasi. Istirahat sangat dianjurkan selama fase akut dari penyakit. Semua kasus yang dicurigai sebagai difteria harus dilaporkan ke dinas kesehatan setempat dan pusat. Hal ini dilakukan untuk mencegah adanya kasus-kasus lainnya serta mancari sumber dan karier untuk menghambat penyebarannya.

Pneumonia
Pneumonia merupakan peradangan paru-paru. Meskipun sebagian besar kasus pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme, terdapat penyebab non infeksius lain seperti aspirasi makanan atau asam lambung, benda asing, dan hidrokarbon. Pneumonia merupakan salah satu penyebab kesakitan dan kematian yang penting pada anak (terutama pada anak usia < 5 tahun) di seluruh dunia.  Pneumonia rekuren didefinisikan sebagai 2 atau lebih episode dalam satu tahun atau setiap 3 episode lebih, dengan gambaran radiologis normal diantara serangan. Adanya penyakit lain yang mendasari perlu dipikirkan pada anak yang mengalami pneumonia bakteri rekuren. Faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan timbulnya pneumonia rekuren antara lain: trauma, anestesi dan aspirasi. Manifestasi klinis utama pneumonia pada anak adalah demam, kebiruan dan tanda gangguan napas. Pneumonia harus dicurigai bila napas cepat terjadi pada penderita usia kurang dari 2 tahun dengan temperatur > 38oC. Perhitungan  frekuensi napas harus dilakukan dalam satu menit saat anak sedang tenang. WHO telah menentukan kriteria untuk napas cepat pada anak yang dapat digunakan oleh petugas medis dan non medis dalam mendiagnosa infeksi saluran napas akutut bawah tanpa konfirmasi radiologis.

Tabel 4. Kriteria napas cepat menurut WHOUsia < 2 bulan, Frekuensi nafas > 60 kali/menit
Usia 2-12 bulan, Frekuensi nafas > 50 kali/menit
Usia > 12 bulan Frekuensi nafas > 40 kali/menit
Sumber: Lakhanpaul, 2004.

Pneumonia akibat virus dan bakteri biasanya diawali dengan gejala infeksi saluran napas atas selama beberapa hari, misalnya rhinitis dan batuk-batuk. Pada pneumonia akibat virus, demam biasanya timbul, dengan temperatur yang lebih rendah daripada pneumonia bakteri. Napas cepat merupakan gejala yang hampir selalu ada pada pneumonia, gejala lainnya meliputi meningkatnya usaha napas disertai dengan retraksi interkostal, subkostal dan suprasternal dan penggunaan otot napas tambahan. Infeksi berat biasanya disertai dengan kulit kebiruan dan kelelahan nafas, terutama pada bayi. Pneumonia bakteri pada anak yang lebih tua biasanya dimulai dengan menggigil yang diikuti dengan demam tinggi, batuk dan nyeri dada, sianosis sirkumoral, respirasi yang cepat, batuk kering non produktif, anxietas, dan kadang-kadang penurunan kesadaran atau delirium. Anak dengan biasanya berbaring ke sisi yang sakit untuk meminimalisir nyeri dada. Terapi pneumonia yang disebabkan bakteri didasarkan atas dugaan penyebab dan tampilan klinis penderita. Untuk anak yang sakit ringan yang tidak memerlukan perawatan di rumah sakit, direkomendasikan pemberian antibiotika.

Daftar Pustaka
  1. Departemen Kesehatan RI. Pedoman pemberantasan penyakit infeksi saluran pernapasan akut pada balita. Jakarta: 2002.
  2. Herendeen EN, Szilagy OP. Infection of the upper respiratory tract. Dalam: Behrman ER Khegman MR, Jenson HB, penyunting. Edisi ke- 16. Textbook of pediatrics. Philadelphia: WB Saunders 2000. h. 1261-4.
  3. Anderson J, Fink JB. Assessing Sign and Symptoms of Respiratory Dysfunction. Dalam: Clinical practice and respiratory care. Philadelphia: Lippincott William and Wilkins; 1999. h. 143-67
  4. Cheery JD. The common cold. Dalam: Feigin RD, Chery JD, penyunting. Textbook of pediatric infectious disease. Philadelphia: WB Sounders; 1998. h. 176-9.
  5. Eccles R. Understanding the symptoms of the common cold and influenza. Lancer Infet Dis 2005 ; 5:7 18-25.
  6. Heikkinen TAJ. The common cold. Lancet 2003;361:51-9.
  7. Alan L, Bisno LA, Chairman, Gerber AM, Gwaltney MJ, dkk. Diagnosis and management of Group A streptococcal pharyngitis: a practice guideline. Cim Infect Dis 1997;25:574-83.
  8. Morozumi M, Nakayama E, Iwata S. Acute pharyngitis. NEJM 2001 ;344:205 -11.
  9. Pechere JC. Acute bacterial pharyngitis, Cambridge Med Publ. West Sussex 1994.
  10. Christie AB, ed.  Infectious Diseases : Epidemiology   and clinical  practice. Edinburgh London New York :  Churchill  Livingstone,  1987; 1183-209.
  11. Hodes  HL. Diphtheria. Ped. Clin.North America 1979;  26 :  445.
  12. Wharton M. In : Gershon AA, Hotez PJ, Katz SL, eds.  Krugman’s Infectious Diseases of Children. 11th ed  St. Louis : The Mosby Co, 2004 : 85-96
  13. Long SL. Diphtheria (Corynebacterium diphtheriae) in : Behrman  RE,  Kliegman  RM, Jelson HB, eds. Nelson Textbook of Pediatrics. 16th ed Philadelphia London New York St. Louis Sydney Toronto : WB Saunders, 2000; 817-20
  14. Top FH,  Wehrle  PF, eds.  Diphtheria. Communicable and Infectious Disease. St. Louis. The CV Mosby Co. 1976 : 223 - 38.
  15. Sectish TC dan Prober CG. Pneumonia. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM. Jenson HB. Nelson: Textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders. 2007; h. 1795-9.
  16. Said M. Pneumonia. Dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi I. Jakarta: Badan penerbit IDAI. 2008; h. 350-65.
  17. UNICEF. Pneumonia: The forgotten killer of children. [diunduh 24 Oktober 2009]. Tersedia dari URL:
  18. Crowe JE. Viral pneumonia. Dalam: Chernik V, Boat TF, Wilmott RW, Bush A, penyunting. Kendig’s Disorder of the Respiratory Tract in Children. Edisi ke-7. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2006; h. 433-40.
Penulis: Dzulfikar DLH,drSpA(K),MKes
Disampaikan dalam Acara Pelatihan Hidup Sehat Seri ke-3 "Memahami Kesehatan Anak Didik", Bandung 22 Oktober 2011, diselenggarakan oleh Forum Ilmu - Bandung